Saturday, September 26, 2009

Harta itu Milik Allah, Manusia Dipinjamkan Sahaja


Kaedah yang kedua sebagai landasan ekonomi dalam masyarakat Islam adalah suatu keyakinan bahawa harta itu sebenarnya milik Allah sedangkan manusia hanya memegang amanah atau pinjaman dari-Nya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an Al Karim:
"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu." (Al Hadid: 7)
Allahlah pemilik harta benda, kerana Dia yang menciptakannya dan yang menciptakan sumber produksinya serta memudahkan sarana untuk mendapatkannya, bahkan Dia-lah yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta.
"Dan kepunyaannya (Allah) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi..." (An-Najm: 31)
"Ingatlah sesungguhnya hanya milik-Nya makhluq yang ada di langit dan makhluk yang ada di bumi.." (Yunus: 66)
"Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya." (AI Waqi'ah: 63-64)
"Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikurniaankan-Nya kepadamu... (An-Nuur: 33)
"Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari kurniaan-Nya menyangka, bahawa kebakhilan itu baik bagi mereka..." (Ali 'Imran: 180)
Jadi apa yang diberikan Allah kepada manusia dari kurniaan-Nya salah satunya adalah harta, sehingga kekuasaan manusia atas harta itu sekadar sebagai wakil, bukan pemilik aslinya.
Jika manusia adalah sebagai amin (yang dipercaya) untuk memegang harta dan sebagai wakil, maka tidak boleh bagi manusia untuk menyandarkan harta itu pada dirinya dan mengatasnamakan keutamaan itu sebagai atas jerih payahnya, sehingga ia mengatakan seperti yang dikatakan oleh orang kafir, "Ini adalah milikku" (Fushshilat: 41). Atau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Qarun, "Sesungguhnya aku diberi harta itu, hanya kerana ilmu yang ada padaku" (Al Qashash: 78).
Demikian juga tidak diperbolehkan bagi manusia untuk menyibukkan dirinya dengan harta itu, tanpa melibatkan keluarga dari pemilik aslinya, kerana seluruh makhluq adalah keluarga Allah. Hal ini bererti ia telah melupakan kedudukan dan fungsi harta itu.
Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan di dalam tafsirnya, "Sesungguhnya orang-orang fakir itu adalah keluarga Allah dan orang-orang kaya itu khuzzanullah (yang menyimpan harta Allah), kerana harta yang ada di tangan mereka adalah harta Allah. Seandainya Allah SWT tidak memberikan harta itu di tangan mereka, niscaya mereka tidak memilikinya sedikit pun. Maka bukan sesuatu yang aneh jika ada seorang raja berkata kepada bendaharanya, "Berikan sebahagian dari harta yang ada di gudang kepada orang-orang yang memerlukan dari hamba-hamba sahayaku."
Wajib bagi manusia (yang mengemban amanat harta) terikat dengan instruksi pemiliknya dan melaksanakan keputusannya serta tunduk terhadap arahan-arahan-Nya dalam memelihara dan mengembangkannya, dalam menginfakkan dan mendistribusikannya. Bukan berkata seperti yang dikatakan oleh penduduk Madyan kepada Nabi Syu'aib AS:
"Hai Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapa-bapa kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. ." (Huud: 87)
Hal itu merupakan bantahan mereka ketika Syu'aib menasihati mereka,
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khuatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat), hai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan rnanusia terhadap hak-hak mereka janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan." (Huud: 84-85)
Mereka mengira bahawa pemilikan harta itu memperbolehkan bagi mereka untuk bebas berbuat semaunya, walaupun hal itu bertentangan dengan norma-norma (akhlaq) atau tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan alasan bahawa, "Ini harta kami, maka kami menggunakannya terserah kemauan kami."
Islam telah menegaskan bahawa harta adalah milik Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki dari para hamba-Nya. Allah mengamanahkan kepada mereka harta itu untuk melihat bagaimana mereka berbuat, maka apabila mereka tidak beriltizam dengan perintah-perintah Allah bererti mereka telah melanggar batas-batas perwakilan, sehingga harta itu harus diambil secara paksa atau tangan mereka dipukulkan ke batu.
Dengan kaedah emas ini, maka Islam maju dalam beberapa kurun (abad) dalam perekonomian dan kesejahteraan sosial Islam telah jauh mendahului apa yang digembar-gemborkan oleh sebahagian ilmuwan ilmu sosial Barat bahawa sesungguhnya pemilikan itu tugas sosial, dan sesungguhnya orang yang kaya itu harus mengikuti sistem sosial yang ada. Meskipun kata-kata ini sama sekali tidak sebanding dengan ajaran yang ada dalam Al Qur'an.



0 Comments: